Ada rasa yang berbeda setiap kali pulang ke desa dimana simbah (dulu) tinggal. Sepenggal masa yang lewat kembali lagi ke ingatan. Ketika kami masih kecil-kecil, hampir setiap kali liburan sekolah dihabiskan di rumah simbah, di sebuah desa di Gunung Kidul. Mungkin karena itulah, kami sangat dekat dengan simbah. Dan setiap kali liburan tiba, yang terbayang adalah pergi ke rumah simbah. Seolah ada magnet yang selalu menarik kami kesana. Jarak rumah kami dengan rumah simbah hanya sekitar 1.5 jam perjalanan, jadi memang tidak terlalu jauh.
Dan kebiasaan itu terpatri hingga kami besar. Ketika masih kuliah di negeri antah berantah, setiap kali bisa pulang ke tanah air, saya selalu meluangkan waktu untuk menengok simbah. Begitu juga dengan adik yang tinggal di Jakarta, setiap kali pulang, selalu menyempatkan diri untuk ke rumah simbah. Bahkan setelah simbah meninggal pun, masih saja magnet itu cukup kuat menarik kami untuk kesana setiap kali ada kesempatan.
Sejak saya masih kecil, tidak terlalu banyak perubahan fisik yang terjadi di desa simbah paling-paling hanya rumah yang dulunya dari kayu atau bambu, sekarang sudah banyak yang disemen. Tetapi rumah simbah tetaplah seperti dulu, sebuah rumah bambu sederhana yang berhasil mencuri hati kami.
Sebagian besar penduduk di desa itu adalah petani, lebih tepatnya mungkin peladang. Biasanya mereka memiliki ternak di rumahnya, sehingga cukuplah mudah mendapati pak tani ini sedang mencari makanan untuk ternaknya, entah itu rumput (kalau pas musim penghujan, cukup mudah mencari rumput) ataupun daun-daunan muda.
Yang cukup banyak berubah adalah, kalau dulu tiap pagi saya sering mendengar kicau burung di halaman. Sekarang ini, jarang sekali ada burung yang terdengar kicauannya di halaman rumah. Bahkan ketika saya pergi ke sungai yang melintasi hutan lindung di dekat rumah simbah, yang dulunya banyak dihuni burung-burung, sekarang ini sudah menjadi sunyi senyap. Kicauan burung tidak semeriah dulu lagi. Kemanakah perginya wahai engkau burung?
Postingan ini khusus untuk memeriahkan Turnamen Foto Perjalanan 34: Kampung.
fotonya cantiiiik…..
kaya akuwh…. 😳
Terima kasih …
Selamat menjadi yang pertamax di postingan ini …
Kangen désa jadinya
kalau mbk Lidya ga pernah tinggal di desa kok ya … 😀
iya gak pernah tinggal di desa, tapi pernah duluuuuu waktu SD ke desa orang hehehe. sekali-kalinya bis amain di sawah sama sungai
burungnya sibuk ngeblog kali ya??? *Lho???
lho kok tahu … *ups …
hahaha.. ya tahu lah wong saya pertamax ^^
fotonya emang bagus banget ya kalo di kampugn2, ahh jadi kangen desa2 kecil di klaten
ayuk mb main ke Klaten … 😀
yah sekarang jauh hehe
Kalau lihat foto begini rasanya sejuk dan tenang banget
suasana desa memang bisa menenangkan ya pk …
Kalau ke Gunung Kidul mampir ke rumah Simbahmu ya, Om.
Mungkin burungnya pada migrasi ke negara antah berantah tah ah. . .:lol:
boleh … kpn mo k GK? 😀
Sayang ya Mas, kicauan burung pun menghilang dari kampung. Padahal bunyinya menimbulkan keteduhan sendiri pada batin kita ..
iya bu … populasinya semakin berkurang …
selalu suka deh dengan pencahayaan di foto2mu, ajarin bunda dong
trims ya Hind udah ikutan
makasih Bunda … Saya seringnya pake mode vivid color (d Canon S 100), karena suka dengan warna kuning keemasannya … kadang di kasih efek pake instagram kok Bun …
burung pada pergi ke hutan yg lebih asri, di kampung pun sekarang mulai dibangun banyak rumah yg menggeruk area sawah.
😀
iya betul … lama-lama burung bisa punah ya …
Fotonya bagus om, ada kontes tentang human ga om? minta infonya dong.
Ada pengalaman lucu yg saya alami tentang kakek/ nenek saya waktu saya duduk di sekolah dasar.
Ketika disuruh mengarang cerita tentang pengalaman berkunjung kerumah nenek saya tidak mengumpulkan cerita pada guru saya, masalahnya rumah nenek bersebelahan dgn rmh saya, satu kampung om , hehe ..
makasih mas …
Kalau kontes ttg human saya nggak tahu mas …
Desa, kampung, apapun memang membawa kenangan tersendiri.
Sampai sekarang paling suka masuk kamar Mbah rayi dan memandang pohon mangga tetangga yang masih suka dijadikan tempat sembunyi burung2 😀
Fotonya bagus.
Betul mb Nita … 😀
Soal kicauan burung ini sama juga terjadi di Malang tempat BuDhe saya Mas. Kemaren itu pas ke sana rasanya juga lebih sedikit kicauan burung dan lebih panas hawanya.q
berarti fenomena global ya mas …
suatu hari kepingin tinggal di jogja deh apalagi kalau baca cerita betapa menyenangkan tinggal di sana
tapi kak Jul, denger-denger Jogja berhenti nyaman lho, mulai macet dimana-mana … 😦
senang sekali dengan suasana kampung, serasa kembali pulang. Padahal pulang ke mana? rumah kan di kota.
Fotonya itu keren banget, berbicara lebih banyak daripada postingannya sendiri
Terima kasih pk Mandor …
Suasana desa terasa sekali dari foto keren ini Mas Hind.
Kalau buka kelas ajar moto, saya ndaftar ya Mas. Salam
terima kasih bu Prih … saya masih newbie kok … 😀
Saya masih sering dengar suara hewan kecil2, ya burung..garengpong retnong tengis tokek truwok de el el
wah, malah meriah donk mas … btw, truwok yg seperti apa ya mas?
seperti biasa.. jepretannya selalu cakep!
terima kasih mb …
jadi kangen pengen ikut menikmati keindahan desa ….
ajak2 bunda dong Hin kalau ke tempat si mbah….#lho???!
seperti biasa….foto2nya selalu kereen … (seratus jempol pokoknya) 🙂
salam
hi.hi. boleh Bun, kapan mau ke GK … 😀
pergi mencari ke tempat yg msh byk pohon dan org orgnya nggak suka melihara burung kali Hind 🙂
iya kali mb, pada pindah ke Jerman … 😀
yang nama desa yang masih terlihat tentram damai, asri, jauh dari hiruk pikuk bising kendaraan itu pasti membuat kita ingin menikmati suasana pedesaan hemm…?
hidup di desa itu kliatannya tenang dan damai … 😀
Kerinduan akan masa kecil di pedesaan pun sering menghampiri saya. Memang benar jaman terus berputar, kicau burung perlahan menghilang….
Namun di rumah, sering juga datang burung-2 kecil, kicaunya lumayanlah….